Bukan Rapunzel

Dia hanya terdiam. Wajahnya sendu pucat menyembunyikan aura kecantikannya. Tak sedikit pun senyum tersungiing di bibirnya. Rambutnya yang hanya sebahu dibiarkan begitu saja. Sungguh kasihan dirimu. Sesosok gadis menyedihkan yang aku pandang dalam cermin di hadapanku .
Aku benci akan hidupku. Benci akan apa yang terjadi padaku. Bertahun tahun aku disini. Tak pernah merasakan udara luar. Tak pernah menginjakan kakiku pada tanah. Mencium aroma bunga. Apalagi berteman dengan orang luar. Menyakitkan bagiku ketika kulihat di luar sana anak anak seusiaku berjalan bersama,bergandengan tangan, mengobrol, membeli makanan,atau hanya saling bersapa. Ingin rasanya keluar merasakan itu semua.
Aku tak ingat kapan terakhir kali aku tersenyum. Bahkan aku tak tahu bagaimana caranya tersenyum. Persetan dengan itu semua. Persetan dengan kebahagiaan. Persetan dengan keluarga. Persetan segalanya!!!
Entahlah macam apa keluargaku ini. Keluargaku bukanlah keluarga tak mampu. Berkecukupan malah. Ayahku pun sepertinya orang yang penting. Terbukti dari banyaknya orang yang datang ke rumahku ini. Aku tahu karena aku bisa melihat dari atas sini. Mobil mobil keluar masuk pekarangan rumah. Tapi aku tak tahu apa pekerjaan ayahku sendiri. Jangankan pekerjaan,namanya pun aku telah lupa. Juga ibuku. Entahlah siapa dia. Aku hanya memanggil mereka ayah dan ibu. Dan itu dulu. Sebelum aku membungkam mulutku untuk mereka.
Aku hidup di ruangan cukup besar. Cukup besar bagiku yang tak pernah sekalipun melihat luasnya dunia. Bagiku luas dunia hanyalah seluas ruanganku ini. Terdapat satu tempat tidur di sudut kamar. Satu lemari besar,meja rias, dan televisi di dinding kamar. Televisi yang tak pernah aku gunakan karena hanya menyakitkan melihat mereka yang bersenang senang di dalamnya. Televisi yang telah aku rusakan karena mengandung penderitaan.
Aku hidup diruangan cukup besar. Cukup besar bagiku yang tak pernah sekalipun melihat luasnya dunia. Bagiku luas dunia hanyalah seluas ruanganku ini. Sebuah ruangan tanpa jendela. Hanya kaca kecil jalan masuknya sinar matahari pagi. Hanya kaca kecil tempat aku mengintip dunia luar. Mengintip tetangga yang bermain. Mengintip mobil mobil yang keluar masuk pekarangan.
Aku bosan….
***
Dia masuk ke dalam kamarku. Dengan gaun putih yang tampak bagai bersinar. Rambut panjang terurai. Make up tebal menghiasi wajahnya, memudarkan lukisan usia pada rautnya. Senyum tipis tersungging di bibirnya, sangat tipis, agar tak merusak topeng yang dia kenakan sepertinya. Ditangannya terdapat nampan berisi makanan yang dia bawakan untukku. Setiap hari seperti ini.
Aku menyibukkan diriku dengan menggambar. Hanya pensil dan kertas lah satu satu nya temanku. Tak ku toleh sedikitpun dirinya. Kata katanya pun tak aku dengarkan. Tak usah aku dengarkan karena aku sudah hapal apa yang dia katakana. Aku hapal bujuk rayunya agar aku makan. Sampai aku hapal bagaimana nada dia berbicara. Aku hapal dan aku bosan.
Wanita itu terus mengoceh. Tak ada namaku dalam ocehannya. Hanya panggilan ‘sayang’ yang dia ucapkan. Ah peduli apa dia padaku. Tak akan pernah dia lakukan ini jika dia memang sayang padaku.
***
Aku terdiam. Bukan karena kata rayu dia. Tapi karena suara tawa yang aku dengar dri luar. Ya, tawa bahagia anak anak di luar. Disertai music yang mengalun jenaka. Sungguh hal yang sangat memilukan. Aku ingin semua itu. Aku ingin tawa itu. Aku ingin kebahagiaan itu. Aku ingin semua itu!!!!!!
Pensil yang tersekap dalam jemariku mulai ku genggam dengan erat. Pikiranku mulai berkecamuk. Rasa ku mulai bergejolak. Aku bosan dengan semuanya. Aku lelah dengan hal yang sama. Aku tak lagi ingin disekap. Aku ingin bebas. Aku ingin seperti yang lain. Aku ingin tertawa lepas. Aku ingin bernyanyi. Aku ingin berdansa dengan orang lain. Aku ingin berlari. Aku ingin memegang tangan orang lain. Aku ingin…. Aku ingin…..
AKU INGIN SEPERTI MEREKA!!!!!!
Aku berbalik seketika, menabrak wanita yang katanya adalah ibuku hingga terjatuh. Aku duduki badannya. Senyum simpul langsung tersungging di mulutku. Aku kibaskan rambutku,dan ku hujam lehernya dengan pensilku! Ku hujam kembali lehernya! Ku hujam mata kanannya! Ku hujam lehernya! Ku hujam mata kirinya! Ku hujam! Ku hujam! Ku hujam! Ku hujam! Ku hujam!!!
Dan darah pun menggenang di kamarku….
***
Aku buka pintu kamarku. Ini kali pertama aku menginjakan kaki di luar kamarku. Rumahku ternyata begitu besar. Dan megah. Banyak pajangan di dinding. Lebih banyak lukisan besar ketimbang photo. Dan tak ada satupun photoku.
Tiap aku melangkah, dilantai yang bening bagai Kristal itu tercetak kakiku. Tercetak oleh darah yang membanjiri tubuhku. Entah kemana aku berjalan, aku tak tahu. Rumahku tempat tersasing bagiku. Aku terus berjalan dan menemukan satu ruangan besar. Sebuah ruangan dengan pintu yang terbuka. Sebuah kamar.
Sesosok tubuh tambun dengan setelan formal tergeletak di atas kasur besar yang sedikit mengempis menahan berat tubuhnya. Sudah lama aku tak melihatnya. Pria yang mengaku sebagai ayahku. Pria tanpa hati yang hanya mencintai hartanya saja.
Aku dekati tubuh itu. Makin besar saja perutnya. Aku perhatikan perutnya itu. Perut yang entah berisi apa. Bisa jadi berisi semua kebahagiaan yang aku impikan. Bisa jadi.
Aku angkat pensil yang terus aku pegang. Dan dengan kekuatan penuh aku tusukan pada perut pria itu. Terus aku tusuk tusuk perutnya. Terjangan tangan dan kaki pria itu tak pernah mengenaiku. Hingga aku tusukan pensilku tepat di dadanya, dan patah. Pensilku patah terbagi dua, di tanganku, dan menancap di dadanya.
Pria itu bangkit, dengan perut yang terus mengeluarkan darah dan sebagian isinya yang menyembul keluar. Aku mundur, dan berlari keluar kamarnya. Aku berlari turun ke bawh. Memasuki ruangan yang lebih besar. Dengan kursi kursi megah di dalamnya. Pria itu mengikuti, dan jatuh terguling di tangga. Terus terguling dan berhenti tepat di depanku.
Ku ambil guci yang bertengger di sampingku. Ku angkat dan kubenturkan pada kepalnya. Ku benturkan lagi hingga guci itu pecah. Ku ambil pecahannya dank u tusukan pada perutnya, pada dadanya, pada jantungnya. Sekali lagi, aku mandi darah orangtuaku sendiri.
***
Aku berjalan keluar rumah. Dengan badan penuh darah, wajah merah, dan keadaan semrawut. Aku berjalan gontai menuju keramaian yang aku inginkan. Menuju kebebasan yang aku impikan. Menuju kebahagiaan yang aku harapkan.
Semua orang di tempat itu menoleh ke arahku. Tertegun dengan keadaanku.
“Hai…” aku melambaikan tanganku pada mereka. Senyum bhagia terlukis di wajahku dengan sempurna. Pertama kalinya muncul di wajahku.
Namun, semua berteriak dan lari…..

Categories: , Share

Leave a Reply