Truth...

#30HariMenulis Day 23
-Action!-

Karena perbedaan bukan hal yang menakutkan...


Aku terdiam gugup, kakiku gemetar. Tanganku kaku. Tidak, bukan, aku kaku. Berjongkok dibalik drum kosong di sudut bangunan tua. Memfokuskan pendengaran pada sekitar, berharap tak ada suara langkah kaki yang medekat.

Mereka mengejarku karena perbedaanku. Mereka takut akan diriku. Aku tak pernah membahayakan siapapun. Aku pun tak pernah tahu mengapa aku bisa berbeda. Hal itu datang begitu saja.

Derap langkah! Mereka mendekat! Lebih dari dua. Tiga atau empat sepertinya. Dan suaranya semakin mendekat. Aku membulatkan tekadku. Mereka tidak boleh menangkapku. Aku harus lari menjauh!

Aku hanyalah anak remaja 15 tahun, Aku tak begitu tinggi. Kakiku tak dapat melangkah panjang. Ditambah takut ini membuat langkahku makin berat. Mereka, yang mengejarku adalah pasukan elite terlatih. Berseragam militer lengkap dengan senapan. Siap menembakku kapan saja. Dan aku? Tanganku kosong!

Aku berlari. Keluar dari persembunyianku. Bodoh memang, berlari melintasi bangunan satu menuju bangunan lain. Dengan leluasa mereka bisa melihatku. Dan memang. Mereka langsung mengokang senjata dan menembakku. Dan bodohnya, aku berhenti, menghadap ke arah mereka, dan menyapukan tangan kanan di udara. Kau tahu apa yang teradi? Peluru yang melesat ke arahku langsung berbelok dan mengenai drum kosong tempat aku bersembunyi sebelumnya. Kusapukan kembali tanganku. Kali ini senjata mereka terlepas dari tangan. Satu tentara kuhempaskan ke dinding bangunan tua hingga pingsan. Satu tentara lain kuhempaskan pula ke atas dan jatuh menghantam jalan. Satu tentara lain berlari, hendak mengambil senjata.  Tapi terlambat. Kutarik kedua tangannya berlawanan arah hingga putus.

Aku memang bodoh! Tak aku pikirkan apa yang sudah aku lakukan. Kini entah berapa banyak tentara yang mengepungku. Sebagian menolong teman mereka yang telah kulumpuhkan. Sebagian bersiap menembakku yang terpojok di tepat ditengah mereka. Bukan kondisi yang bagus.

Mereka meluncurkan peluru satu persatu. Dan satu persatu pun aku hempaskan. aku tahan, aku belokan. Tapi apa daya  seorang anak kecil. Sebuah peluru berhasil menembus kakiku. Aku berteriak kesakitan. membunuh fokusku pada peluru lain yang satu persatu mulai bersarah di tubuhku.dan aku ambruk.

Aku hanyalah anak kecil yang dilahirkan berbeda dari anak lain. Yang dianggap berbeda oleh mereka yang menganggap dirinya normal. Entah aku tak mengerti apa itu normal, seperti apa wujud normal. Yang aku tahu, ketika anak seusiaku bercita-cita menjadi polisi, dokter, tentara, atau apapun itu pekerjaan keren lainnya, aku hanya bercita-cita untuk dapat hidup sperti mereka. Salahkah aku hanya karena aku diciptakan Tuhan berbeda?

Aku fokuskan pikiranku pada peluru peluru yang masuk ke dalam tubuhku. menariknya keluar dan menghempaskannya sekuat mungkin ke arah para penembak. Sial, aku gagal mengenai mereka. Tenagaku habis. Pandanganku mulai kabur. Namun sayup kulihat siluet seorah pria di belakang pasukan tentara di depanku. Terbang, mengangkat tangannya, dan petir pun menyambar tentara satu persatu. Makin buram pandanganku. Pusing. Berat. Tak ada tenaga lagi di dalam tubuhku. Diakah? Tetua para dewa?


Karawang, 23 Juni 2016



Leave a Reply