TIGA

Kupeluk erat photo dirinya. Tak henti airmataku turun. Dia satu-satunya hartaku di dunia ini dan sekarang hilang entah kemana. Aku ingin dia disini. Memeluk dirinya seperti saat dia masih bayi


20 Juli 1997

"Push Bu...push! Ayo Bu sebentar lagi. Ayo!"

Suara itu terus terngiang di telingaku. Suara dokter yang membantu persalinanku. Menyemangatiku untuk terus berjuang demi lahirnya satu nyawa baru di dunia ini. Ingin rasanya aku berhenti. Membiarkannya keluar sendiri atau tak melahirkannya sama sekali. Sakit. Sungguh rasanya sangat sakit. Sakit Sekali.

Tapi tidak. Bisikan setan itu tak pernah aku dengar. Yang akan kulahirkan adalah jiwa suci yang akan membawa kebaikan. Bagi kehidupanku dan kehidupan orang-orang disekitarnya kelak. Tak apa aku meninggal saat ini, yang terpenting dia dapat kulahirkan dengan selamat. 

Suamiku berdiri disampingku. Memegang erat tangannku yang terkadang malah mencakarnya saking sakitnya yang kurasa. Tak hentinya dia menyemangatiku. Mengusap peluh yang membanjiri kepalaku. Membelai keningku. Mencurahkan cintanya agar aku dapat lebih kuat menjalani proses persalinan.

Tangisan pertama bayi yang telah lahir menjadi kebahagiaan paling sempurna dalam hidupku. Hilang semua sakit dan perih yang aku rasakan sebelumnya. Hanya tersisa kebahagian yang tiada habisnya. Perempuan, ya seorang perempuan kuat yang kelak akan menjadi bunga diantara ilalang kering, yang akan menjadi air ditengah gurun pasir.

23 Juni 2016

"Umi, ini sudah mau isya lho, kok anak kita belum pulang juga ya Umi?"
"Tadi sore bilangnya masih ditaman Bi, mungkin dia ke rumah temennya dulu seperti dulu."
"tapi enggak biasanya sampai jam segini belum pulang Mi"
"iya sih Bi, Umi juga ngerasa aneh. Gak enak dari tadi sore. Cuman ya takutnya cuma godaan saja. Umi telpon Afri ya, mungkin dia ada disana"

Aku coba menghubungi rumah Afri. Kebetulan yang mengangkat telpon adalah ibunya Afri dan dia mengatakan Afri pun belum pulang ke rumah. Mungkin anakku juga sedang bersamanya. Mereka selalu bersama semenjak kecil.

Sudah 3 jam berlalu dari adzan isya dan dia belum pulang juga. kekhawatiranku sudah lebih dari batasannya. Handphonenya tidak aktif dan kesalahanku tidak memiliki nomor teman dekatnya. Afri sudah pulang dari tadi dan tidak bersamanya seharian ini. Aku ambil jaketku yang tergantuntung dibalakang pintu dan pergi keluar rumah. aku akan mencarinya sampai aku menmukannya. 


Sekarang

Aku masih terbaring di tempat tidur. Badanku drop. Tak kuat menahan rasa takut yang berlebihan. Anakku hilang dan tidak ada kabar atas keberadaannya. Semua orang telah membantu mencari bahkan komplek tetangga pun melakukan hal sama tapi masih belum ada tanda-tanda keberadaannya.

Aku tak pernah tidur semenjak malam itu. Tak pernah berhenti mencari dan menangis.Entah berapa banyak obat yang aku minum dan tak mempan mengatasi rasa takutku. Aku ingin anakku kembali. Aku ingin anakku pulang.

Tak pernah terbayangkan anakku yang cantik dan periang hilang begitu saja dari rumah. Dia tak pernah berperilaku nakal. Dia selalu mencerahkan suasana dimanapun dia berada. Tak pernah kudengar dia bermasalah dengan siapapun. Yang menjadi masalah mungkin adalah aku. Aku ibu yang kurang baik baginya. Ibu yang tak pernah bisa membuatnya curhat sedikit saja tentang maslaahnya. Ibu yang tak pernah melihatnya menangis setelah dia dewasa. Ibu yang tak pernah direpotkan olehnya, Aku seorang ibu yang gagal...

DUK...PRANG!!
Figura yang terpasang di dinding jatuh tiba-tiba. Figura yang berisikan photonya. Jatuh dan pecah begitu saja. tak ada angin ataupun gempa. Dan tiba-tiba perasaan itu menguat begitu saja. Perasaan takut yang sangatlah tajam. Ya, intuisi seorang ibu. Perasaan seorang ibu terhadap anaknya selalu kuat. Aku yakin dia sedang membutuhkanku disampingnya kin. Aku yakin ada apa-apa padanya sekarang.

"tidak.. tidak...tidak..tidak.. tidak...tidak..tidak.. tidak...tidak..tidak.. tidak...tidak..tidak.. tidak...tidak..tidak.. tidak...tidak..tidak.. tidak...tidak..tidak.. tidak...tidak..tidak.. tidak...tidak..tidak.. tidak...tidak..tidak.. tidak...tidak..tidak.. tidak...tidak..tidak.. tidak...tidak..tidak.. tidak...tidak.." 

Aku meracau, mengumpulkan setiap keping pecahan kaca dan memeluk figura itu. Tak peduli pecahan kaca menusuk tubuhku. Tak peduli. Kalaupun bisa ingin kugantikan hilangnya dia malam itu. Aku saja, jangan dia.

"tidak.. tidak...tidak..tidak.. tidak...tidak..tidak.. tidak...tidak..tidak.. tidak...tidak..tidak.. tidak...tidak..tidak.. tidak...tidak..tidak.. tidak...tidak.."

Aku lanjut meracau dengan tangis yang makin menggila. Makin sesak dan sulit aku bernapas. Yang ada dalam pikiranku hanya dia. Tawanya berubah jadi tangisnya. Ya, dia sedang meanangis diamanpun dia berada sekarang. 

"tidak.. tidak...tidak..tidak.. tidak...tidak.."
.
.
.
.
.
.
.
"TIDAAAAAAK!"

Leave a Reply