#30HariMenulis-Day 1-Elegi Ombak
Pelabuhan Ratu, Juni 2014. Sore menuju Magrib. Sendiri di hadapan sang ombak yang sayup-sayup bercerita.
Pantai tak pernah sepi dari pengunjung, ratusan bahkan ribuan. Bercanda, bercengkrama, bermain-main dengan air. Yang tanpa mereka sadari, menyimpan banyak rahasia mereka. Sang ombak, memulai elegi.
"Aku melihat seorang anak. Lucu seperti siput laut yang digoda terumbu karang. Bermain bersamaku. Menendangku geli. Aku hnya sekedar menggelitik kakinya lembut, membiarkannya lari menjauhiku lalu kembali mengejarku. Dia, yang tanpa sadar di tarik pasir putih yang cemburu melihat kami. Terbawa arus yang marah akan main-mainku dengannya. menenggelamkannya, memutarnya, menariknya ke dasar lautan. Aku, ombak kecil yang hanya bisa sesekali membawanya ke permukaan, memberinya oksigen walau yang dia hirup lebih banyak garam. Terumbu karang yang menganggapnya siput laut menahannya. Tak sedikitpun membiarkannya naik. Merubah warna kulitnya yang putih menjadi legam. Semua tertawa, "Lihat ombak kecil, warna temanmu kini seperti apa yang mereka mau pada kita. Lebam bagai lautan yang tercemar". "
Ombak itu terisak. Mengabarkan sebuah kisah yang dia dapat dari temannya. Sang ombak kecil dari daerah Tasikmalaya Selatan, Pantai Cipatujah beberapa bulan kebelakang.
Ombak, air laut yang terombang ambing angin, laksana selendang sutra permaisuri ditiup sepoi. Indah. Namun tidak ketika mereka marah.
26 Desember, Aceh, mereka, para anak muda, beramai-ramai membuat suatu peringatan. Memperingatkan akan apa yang dahulu pernah terjadi. Memperingatkan akan bahaya bermain-main dengan alam. Memperingatkan betapa sungguh berharganya mereka, kita, dan hubungan keduanya.
Tsunami Aceh menjadi salah satu bencana paling dahsyat. Bukan hanya di Indonesia namun di dunia. Siapa yang harus disalahkan? Pemerintah? (mengapa mereka selalu jadi kambing hitam?) Alam? Ombak? Tuhan?
"Manusia hanya bisa mencari kambing hitam.Menyalahkan kami, satuan laut yang tidak thu apa-apa. Anak mereka tenggelam, kami yang disalahkan. Abrasi, kami juga yang disalahkan. Sampai bencana alam pun kami ikut disalahkan. Kami hanyalah makhluk Tuhan yang bekerja sesuai tuntutan kami. Dan semua akan kembali padamu, kembali untuk kemakmuranmu wahai manusia. Tapi tak sekalipun kau menghargai kami."
Beberapa meter dari tempatku berada, dua anak perempuan berlari, bermain saling kejar. Berteriak. Teriakannya terlalu manis. Namun membuat sang ombak mgeringis.
"Aku sering medengar teriakan seperti itu. Bukan dari kalian mnusia, melainkan dari ikan-ikan yang berlarian. bermain seperti mereka. saling kejar satu sama lain. Teriakan manis yang berujung pada teriakan sakit. Mata mata pancing kalian yang membuat mereka sakit. Mereka masih bisa melawan kalian jika terkana mata pancing kalian. Satu hal yang tidak dapat merek lawan adalah kebodohan kalian. Kebodohan kalian yang memakai senjata hebat kalian untuk menangkap mereka. Meledakan isi laut dan memaksa mereka naik ke permukaan. naik tanpa senyum dan nyawa mereka. Bukan mereka yang sakit. Kami, para ombak, terumbu karang yang rusak, bahkan garam yang terkoyak. Maka jangan salahkan kami ketika badai menyerang. kami tak lagi punya tameng untuk menghadang mereka.Nikmati saja hasil dari kebodohan kalian..."
Adzan Magrib berkumandang. Aku melihat sang ombak yang menggapai-gapai. Memberi ucapan selamat jalan padaku. Mengucap janji akan cerita selanjutnya. Elegi mereka.
Pantai tak pernah sepi dari pengunjung, ratusan bahkan ribuan. Bercanda, bercengkrama, bermain-main dengan air. Yang tanpa mereka sadari, menyimpan banyak rahasia mereka. Sang ombak, memulai elegi.
.jpg)
Ombak itu terisak. Mengabarkan sebuah kisah yang dia dapat dari temannya. Sang ombak kecil dari daerah Tasikmalaya Selatan, Pantai Cipatujah beberapa bulan kebelakang.
Ombak, air laut yang terombang ambing angin, laksana selendang sutra permaisuri ditiup sepoi. Indah. Namun tidak ketika mereka marah.
26 Desember, Aceh, mereka, para anak muda, beramai-ramai membuat suatu peringatan. Memperingatkan akan apa yang dahulu pernah terjadi. Memperingatkan akan bahaya bermain-main dengan alam. Memperingatkan betapa sungguh berharganya mereka, kita, dan hubungan keduanya.
Tsunami Aceh menjadi salah satu bencana paling dahsyat. Bukan hanya di Indonesia namun di dunia. Siapa yang harus disalahkan? Pemerintah? (mengapa mereka selalu jadi kambing hitam?) Alam? Ombak? Tuhan?
"Manusia hanya bisa mencari kambing hitam.Menyalahkan kami, satuan laut yang tidak thu apa-apa. Anak mereka tenggelam, kami yang disalahkan. Abrasi, kami juga yang disalahkan. Sampai bencana alam pun kami ikut disalahkan. Kami hanyalah makhluk Tuhan yang bekerja sesuai tuntutan kami. Dan semua akan kembali padamu, kembali untuk kemakmuranmu wahai manusia. Tapi tak sekalipun kau menghargai kami."
Beberapa meter dari tempatku berada, dua anak perempuan berlari, bermain saling kejar. Berteriak. Teriakannya terlalu manis. Namun membuat sang ombak mgeringis.
"Aku sering medengar teriakan seperti itu. Bukan dari kalian mnusia, melainkan dari ikan-ikan yang berlarian. bermain seperti mereka. saling kejar satu sama lain. Teriakan manis yang berujung pada teriakan sakit. Mata mata pancing kalian yang membuat mereka sakit. Mereka masih bisa melawan kalian jika terkana mata pancing kalian. Satu hal yang tidak dapat merek lawan adalah kebodohan kalian. Kebodohan kalian yang memakai senjata hebat kalian untuk menangkap mereka. Meledakan isi laut dan memaksa mereka naik ke permukaan. naik tanpa senyum dan nyawa mereka. Bukan mereka yang sakit. Kami, para ombak, terumbu karang yang rusak, bahkan garam yang terkoyak. Maka jangan salahkan kami ketika badai menyerang. kami tak lagi punya tameng untuk menghadang mereka.Nikmati saja hasil dari kebodohan kalian..."
Adzan Magrib berkumandang. Aku melihat sang ombak yang menggapai-gapai. Memberi ucapan selamat jalan padaku. Mengucap janji akan cerita selanjutnya. Elegi mereka.