#30HariMenulis-Day 6- Diatas Atap Bagian 3 (Fiksi)

"Hanya Tuhan yang tahu siapa jodoh kita yang sebenarnya"
__________________________________________________________________


Aku menatap bayanganku di cermin. Make up yang sederhana, tidak berlebihan, apalagi menor, namun cukup membuat wajahku merona. Alis tebal tanpa embel-embel pensil alis ataupun sengaja dibentuk sedemikian rupa. Bedak yang baru beberapa saat aku sapukan, hanya tipis, hanya untuk melapisi kulitku agar tak terlihat kering,apalagi kusam. Lipstick senada dengan kulit bibir ku aku sapukan tipis pula. tak berwarna cerah seperti mereka. Jilbab yang rapi, tanpa aku variasikan. Aku bukanlah seorang wanita pesolek yang mahir dalam merombak penampilan. Cukup seperti ini. Sederhana namun aku nyaman. Tertutup namun tetap dapat menampilkan siapa aku.

Aku keluar dari mushala yang terdapat di lantai basement gedung perusahaan tempat aku bekerja. Berjalan menuju lift dan kembali ke ruanganku di lantai 15. Membereskan meja, memasukan benda tak penting ke dalam laci, mengambil handphone dan menelepon dia. Laki-laki yang menjadi atasanku. Laki-laki yang entah mengapa selalu mengajakku makan sisang bersama. Sudah kutolak beberapa kali. namun kali ini aku iyakan. Bukan karena lelah atau menyerah akan ajakannya. Bukan karena dia adalah seorang atasan. Bahkan anak dari pemilik perusahaan ini. Tapi karena hal lain. 

"Pak Zeri, saya sudah selesai shalat. Saya menuju kantin sekarang." aku langsung berkata to the point saat telepon mulai tersambung. Tidak, aku tidak mengucap salam padanya. Tak mengapa, karena dia bukan muslim sepertiku.
"Kamu tunggu di depan saja. Saya akan mengambil mobil sebentar. Kita makan diluar." jawabnya.
"Tapi pak..."
Belum selesai aku bicara, dia telah mematikan teleponnya. Kulihat dia keluar dari ruangannya. Sedikit tergesa menuju lift. Memandangku sepintas dan dengan isyarat matanya, aku tahu dia menyuruhku untuk turun pula. Dan bergegas aku menaiki lift yang berbeda dengannya.

"Mengapa kita harus makan diluar?" tanyaku padanya ketika kita berdua telah berada di dalam mobilnya.
"Jika kita makan di kantor, akan menjadi buah bibir di dalam perusahaan. Dan kau tahu sendiri apa yang mungkin terjadi denganmu."
"Lalu apa bedanya jika kita makan diluar? Bukankah akan membuat gosip yang lebih berbahaya? Mereka tidak tahu kita pergi kemana. Mereka tidak tahu apa yang kita lakukan. Mereka..."
"Mereka tidak akan berpikir yang macam-macam terhadap wanita sepertimu." Dia memotong pembicaraanku.
"Lagipula mengapa kau harus duduk di belakang? Aku atasanmu, bukan supirmu." Dia menambahkan.
"Aku bukan siapa-siapa. Kursi itu tidak, bukan untukku."
"Terserah kamu saja. Kau tak berubah dari dulu. Dan satu lagi. Jangan panggil aku pak jika kita diluar kantor. Menjijikan tahu. Panggilan pak yang keluar dari mulutmu itu."
"Karena kau kini atasanku. Bukan lagi teman sebangku ku waktu SMA."

Dia diam. Sepertinya dia memikirkan sesuatu. Jaman sekolah dulu? Memang dulu kami pernah satu sekolah. Aku murid pindahan kala itu. Dan aku belum seperti ini. Masih tomboi, dengan baju seragam yang agak kurang rapi. Rok pendek dan kaus kaki panjang hingga lutut. Rambut pendek seperti lelaki. Entah mengapa ketika guru menyuruhku duduk, aku langsung duduk di sampingnya. Dia yang pertama mengajakku berkenalan. Mengajakku berkeliling sekolah. Satu minggu pertama, dia satu-satunya teman yang aku punya. Tapi tidak setelah dia mengajakku bermain futsal dengannya. Aku mulai mendapat beberapa teman. Dan semuanya laki-laki.

Jika dilihat dari masa laluku di SMA, tak ada yang menyangka akan perubahan yang terjadi padaku. Wanita tomboy itu telah menjelma menjadi wanita berjilbab. Wnit yang menutup auratnya. Wanita yang tak lagi berkata semaunya. Wanita yang menjaga dirinya. Zeri pun tak mengenaliku ketika aku melamar pada perusahaannya. Dia mengenaliku ketika interview terakhir. Ketika dia memintaku untuk menceritakan masa sekolahku. Aku menceritakan semuanya. Siapa aku sebenarnya. Dia sempat terheran-heran. Bahkan sempat dengan polosnya dia berkata "Lu kerasukan malaikat Sya?". Aku hanya tersenyum. Dan sempat terlonjak kaget, bahkan hampir saja aku tampar dia ketika dengan spontan dia akan memelukku. Namun setelah aku jelaskan bahwa kami bukan muhrim, dan akan berdosa bagiku, dia pun mengerti dan kembali duduk.

"Lu masih suka makan nasi bakar kan Sya?" dia mengagetkanku. Menyadarkanku dari lamunan masa lalu.
"Eh, ya? Apa? Oh nasi bakar? Iya iya, suka." Aku gelagapan. Refleks aku memainkan jilbabku. Mengatur dudukku hingga handphone yang aku pegang terjatuh. Aku meraba-raba bawah tempat dudukku. Mencari handphone yang terjatuh ke kolong tempat duduk. Dengan pandangan masih melihat ke arah depan.
"Kenapa Sya?" Tanyanya, sedikit menoleh ke belakang.
"HP jatoh. Jangan liat ke belakang! Nyetir terus! Aku gak mau ya kalo sampe kecelakaan!" sungutku. Aku masih meraba-raba mencari handphoneku. Hingga akhirnya kutemukan berada di atas kain. Kain lembut. Aku mengambil kedua benda itu. Handphone dan kain lembut itu. Menganggkatnya depan wajahku.
"Ini kain apaan Zer....?" aku merentangkan kain itu, dan...
"Astagfirullah! Jorok lu Zer! Mobil bagus gini isinya celana dalem!" Aku melempar kain itu. Kain yang ternyata celana dalam. Celana dalam itu berhasil mendarat atau tepatnya menggantung di knop volume tape mobil.
"Eh buset!" Dia langsung memarkir mobilnya. Mengambil celana dalam itu dan menyembunyikannya. Entah dimana karena seketika aku menutup mukaku yang mulai berubah warna. Seperti udah yang sedang direbus.
"Ini bukan punya gue! Ini punya si Rendi!" Dia berkilah.
"Rendi? Rendi Alvaro Christian maksud lu?"
"Iye, ini punya dia! Sialan tuh anak..."
Aku hanya terdiam, Memoriku kembali ke masa lalu. Tak kudengar semua ocehan Zeri. Yang ada hanya bayangan wajah pria itu. Rendi. Dan sesuatu muncul kembali di hatiku setelah mendengarnya. Sesuatu yang dulu pernah tumbuh. Cinta itu masih ada. Rasa itu masih kusimpan...

*Bersambung

Leave a Reply