SATU
Sudah hari ketiga semenjak diputuskannya bahwa dia hilang.
Hilang, menghilang, entahlah perbedaannya apa. Aku sempat melihatya. Tersenyum
padaku diatas pohon di taman. Dan setelah itu, dia tak ditemukan keberadaannya.
Ada yang mengatakan dia kabur dari rumah dan pergi entah kemana. Ada juga yang
berpendapat dia diculik seseorang. Namun pendapat paling gila ketika ada yang
mengatakan bahwa dia mati dibunuh atau dimakan hewan buas. Tapi tidak mungkin.
Aku yakin dia hanya hilang. Dia hanya menghilang.
23 Juni 2016
Gerimis yang tak berhenti dari pagi mulai turun malu-malu.
Menyisakan matahari yang mengintip centil diantara awan awan tebal. Seberkas
pelangi nampak di langit siang ini. Tak ada yang aneh hari itu. Semua nampak
sama saja. Bangun pagi, pergi ke sekolah, pulang di siang hari, melewati jalan
yang sama, berpapasan dengan orang yang itu-itu saja. Dan tentu saja, teriakan
iseng seorang gadis dari atas pohon di taman.
“Hey penghuni perpustakaan! Masih jalan sendiri nih?
Hahahaha”
Selalu, teriakan yang sama. Begitupun hari ini. Walau cuaca
basah dan pohon itu pasti licin, dia tetap saja bertengger disitu. Sudah
seperti kakak tua yang makin menua.
“Mak Lampir belum dapet mangsa ya? Masih aja nongkrong
disitu” aku membalas teriakannya.
Dia tertawa mendengar aku memanggilnya Mak Lampir.
Dimakannya sisa bakwan yang ada dalam kantong kresek yang dia gantungkan di
dahan yang patah.
“Mana ada Mak Lampir secantik gw, berhijab pula. Ah lu mah
ada ada aja. Sini lu naik”
Aku hanya tersenyum. Dia satu-satu nya siswi yang aneh di
kelasku. Dia memang berhijab, tak hanya kerudung yang asal pakai atau kain
melilit di kepala. Namun ini benar benar hijab yang menutupi kepala hingga
perutnya. Pakaiannya? Tak usah aku jabarkan, karena pasti dapat dibayangkan
ketika aku mengatakan seperti apa jilbabnya. Lalu cara dia memanjat pohon?
Pohon... Pohon itu merupakan tempat bermain kami semasa kecil.
Kami sudah biasa memanjatnya. Dan ketika dia mulai memantapkan hati untuk
berhijab seperti itu, kami memasang tangga yang kami buat sendiri. Cukup
sediakan tambang tebal dan beberapa batang kayu.
Dan siang itu, aku menolak untuk menemaninya di atas pohon.
Satu penyesalan yang tak akan pernah aku lupakan.
Masih 23 Juni 2016
Aku sedang terlelap ketika ibu membangunkanku. Wajahnya
penuh kecemasan. Napasnya berkejar-kejaran. Ada kekhawatiran dalam suaranya.
“Sudah larut dan dia belum pulang juga. Kakak tau dia
kemana?”
Aku menggeliat. Mengucek mata dan menguap. Dia... dia...
siapa?
“Ya,Bu? Kenapa?”
“Dia belum pulang Kak, Umi Dina telpon dia belum pulang juga
sampai sekarang. Tak ada kabar. Handphone dia pun mati. Kakak tau dia ada
dimana?”
“Terakhir ketemu sih tadi siang Bu, pulang sekolah, di
taman.”
“Tidak ada Kak, semua tempat yang biasa dia kunjungi sudah
diperiksa. Tak ada tanda tanda dia ada disana.”
Aku diam. Tak biasanya dia pergi sampai larut begini.
Sebelum magrib pun dia sudah pulang. Tapi ini sudah hampir larut malam dan dia
belum juga pulang. Aku turun perlahan dari tempat tidurku. Mengambil jaket yang
tergantung di pintu, dan bergegas keluar kamar. Aku akan mencari dia.
Sekarang
Sudah larut malam dan kami belum juga menemukannya. Hampir
semua pojok kampung ini kami jelajah semua. Bahkan kampung tetangga pun ikut
mencari di daerahnya. Sudah 5 hari dan dia belum pulang juga. Tidak ada kabar
sama sekali.
Aku duduk bersandar pada pohon kami di taman. Terbayang
wajah jahilnya sedang duduk diatas pohon. Memainkan kakinya atau hanya sekedar
makan bakwan sembari mendengarkan lagu kesayangannya, Di Persimpangan Aku
Berdiri yang dinyanyikan oleh Edcoustic. Tanpa kusadari aku pun menyanyikan
lagu itu. Dalam kesunyian malam, berharap dia mendengar dan ikut
menyanyikannya.
Handphone ku bergetar beberapa kali. Enggan aku merogoh saku
celanaku. Paling juga ibu menyuruhku untuk segera pulang. Atau Pak RT yang
menginstruksikan pencarian dilanjut besok. Entah perasaan apa yang muncul
ketika aku melihat nama yang muncul di layar handphoneku. Senang? Marah? Takut?
Satu-satunya nama yang aku rindukan, Mak Lampir.
Segera aku angkat panggilannya. Tak ada suara disana. Hanya terdengar
napas berat dan tersendat.
“Afri... Tolong..”
Dan telponpun mati. Iya mati. Mati begitu saja. Aku coba
menelponnya. Tidak aktif. Tak dapat dihubungi. Dia... dia minta tolong....