Pesan Kematian


Aku matikan ponsel ku. Sudah seminggu orang gila itu menggangguku dengan sms sms bodhnya tentang kematian. Mati itu di tangan Tuhan, bukan orang apalagi sms. Aku masih ingt sms terakhirnya, “Sudah cukup bekal buat perjalanan maut anda? Karena tak lama lagi anda akan dijemput”
Sial. Aku tidak tahan jika tidak memegang ponsel, sudah jadi kebiasaanku untuk terus memegang ponsel, paling tidak menyimpannya di kantung celana atu baju. Lebih baik aku lupa dompet daripada lupa ponsel. Tapi sms itu? Bagaimana jika ada kembali? Tapi jika ada orang kantor atau saudara yang menghubungiku? Terlalu malas bagiku untuk menggunakan telepon kabel yang ada di tempat kost ku kini.
Pertahananku kalah. Aku ambil kembali ponselku dan mulai menyalakannya. Beberapa menit kemudian,satu sms masuk
“Bro, ditunggu anak anak di tempat futsal biasa, kita main jam 4 sore”
Hendri, nama yang muncul di layar ponselku. Ku lihat jam di dinding. 3.45, tinggal 15 menit lagi.
Masuk kembali satu sms.
“Bro, baru aktif ponsel lu? Cepet dateng, kita tunggu lho disini”
Aku bergegas berganti baju. Memsaukan perlengkapan futsal ku dan beranjak. Ketika sedang berada di tangga, masuk kembali satu sms.
“Naik taxi biru dengan kaca pintu sedikit retak, maka anda akan merasakan bagaimana rasanya tabrakan”
Sms itu lagi, sms tanpa nama, dengan no yang berganti ganti. Mungkin agar aku tak bisa melacaknya. Sms yang isinya penuh dengan omong kosong.
Aku hentikan taxi yang lewat. Aku sudah terlambat,dan akan lebih nyaman jika naik taxi. Namun seorang pria besar berotot menyerobot masuk ke dalam taxi dan pergi. Terlihat kaca mobil itu sedikit retak dan….
BRAK! Taxi itu terguling setelah menabrak taxi lain. Dan beberapa detik kemudian, BOOM! Taxi itu meledak.
Aku berlari kembali masuk ke dalam kamar. Dan satu sms masuk
“Terselamatkan oleh seorang pria, beruntungnya dirimu”
Sial. Dia yang melakukan ini semua. Dan artinya dia ada disekitar sini memperhatikanku. Aku lari kembali ke bawah. Berlari menyusuri gang menuju ke lokasi tadi. Banyaknya orang yang melihat kejadian, polisi dan pemadam yang berdatangan akan menghambatnya pergi. Nilai plus bagiku untuk mencari tahu siapa pelakunya.
Aku berjalan cepat diantara kumpulan orang orang. Masuk kembali satu sms
“Bro, jalan deket tempat lu tinggal ada kecelakaan? Bukan lu kan?”
Hendri. Dia tahu? Mungkinkah dia pelakunya?
Aku telepon si peneror, dan nomor itu tidak aktif. Ku ulangi kembali dan masih tidak aktif. Masuk kembali satu sms
“Mencari saya? Saya jamin saya tidak ada disitu”
Dia tahu lagi? Kini pikiranku melayang pada Hendri. Mungkinkah dia pelakunya?
Kembali muncul sms baru
“Mati itu enak loh sobat, maka dari itu cepatlah kau mati!”
Muncul lagi satu sms baru. Tertulis “Sayang” pada layar. Tunanganku.
“Sayang daerah kamu ada kecelakaan ya? Kamu gak kenapa napa? Aku kesana sekarang”
Aku melangkah gontai menuju kamarku. Sms-sms orang itu mulai membuatku kacau. Kecelakaan tadi adalah hal kedua yang bisa merenggut nyawaku dalam seminggu ini. Sebelumnya aku hamper menjadi korban kebakaran di suatu swalayan. Beruntung aku bisa melompat memecahkan kaca. Dan komentar sms itu, “Seharusnya kaca itu tak bisa kau pecahkan”.
Dering ponsel membuyarkan lamunanku. Satu sms kembali masuk. “Anak tangga ke dua puluh ya”
Anak tangga ke-20? Apa maksud nya?
Belum selesai aku menghembuskan napas panjang, tiba-tiba, BRAK! Anak tangga yang aku injak patah, hamper saja aku terjatuh, untunglah, dibelakangku ada seorang bapak yang sigap memegang badanku, menahanku agar tidak jatuh. Betapa kagetnya aku ketika ku lihat pada anak tangga yang patah tadi, patah tepat di tengah dan salah satu patahannya, yang berujung runcing, mengangkat tepat 900 . dan jika aku jatuh, akan tepat menusuk jantungku. Lagi-lagi,aku terselamatkan.
“Hidupmu hanyalah tergantung pada orang sekitarmu ternyata, tanpa mereka kau tak akan hidup, menyusahkan orang saja, lebih baik kau cepat saja mati”
Sebuah pesan yang masuk tak lama setelah kejadian tadi. Pesan yang membuatku semakin kacau. Pesan yang membuatku semakin ingin marah.
Dan ku lemparkan ponselku melalui jendela. Jatuh dan hancur. Tanpa ponel itu, aku tak akan mendapat ancaman lagi.
***
PRANG!
Baru saja aku tertidur 5 menit sudah terbangun oleh suara pecahan kaca. Aku bangkit dari sofa tempatku tertidur. Dan nampaklah sebuah remasan kertas di antara pecahan kaca jendela kamarku. Seseorang telah melemparnya. Dan pasti sulit untuk melempar kertas ini –walau telah diberi batu- dari bawah tepat pada jendelaku yang berada di lantai 3.
Bergegas aku menuju jendela, melihat siapa tahu orang itu masih ada dibawah sana. Tapi tidak, tak ada siapapun di bawah sana.
Kubuka remasan tadi, dan tertulislah sebuah pesan dengan menggunakan tinta merah
“Kau tak akan bisa lari dari kematian hanya dengan merusak ponselmu kawan, bagaimanapun juga kematian akan dating padamu, tak peduli kau merusak ponselmu, kau sembunyi dalam gua, maupun kau mengunci diri dalam kotak baja. Kematian akan tetap dating padamu. Dan ketika saat itu datang, mau tak mau kamu harus siap. Dan sepertinya sebentar lagi memang akan datang.”
Dia lagi. Orang gila itu lagi. Apa yang dia mau sebenarnya?
Entah sudah berapa putaran aku mengelilingi ruangan ini. Mencoba menerka akan ini semua. Musuh setahuku aku tak punya. Aku tak pernah dengan sengaja menjahati orang lain. Tapi mengapa ada orang yang melakukan hal ini? Siapapun dia, aku harus mencarinya.
Aku buka pintu teras ruanganku. Bermaksud untuk menghirup udara segar. Tapi ada hal lain yang aku temukan. Seikat bunga kamboja dengan sebuah pesan di dalamnya.
“Sudah siap untuk kematian? Kali ini tak akan ada orang yang dapat menyelamatkanmu. Karena kematian mu ada di tangan orang yang berada dekat denganmu. Bukan aku, tapi mereka yang berada di sekelilingmu. Selamat menempuh kematian…”
Dalam pikiranku langsung terbersit orang orang sekelilingku. Tetangga, Hendri, tunanganku, penjaga kost, tukang parker, pengunjung warung makan, semua orang yang aku temui tiap hari.
Aku berlari ke dalam kamar. Mengunci diri. Di tanganku tergenggam pegangan sapu yang telah aku patahkan sebelumnya. Tak aka nada yang bisa mengambil hidupku. Tidak akan!
Kring…Kring…
Telepon di ruangan ku berdering. Siapa pula yang menelpon di saat saat seperti ini? Tunanganku kah? Tadi dia bilang dia mau datang. Datang? Jangan jangan dia……
Kring….Kring…
Telepon terus berdering tak henti. Aku mengalah. Kubuka pintu perlahan, tanganku siaga memegang tongkat dari pegangan sapu. Kosong. Ruanganku kosong. Aku berjalan perlahan menuju telepon. Saat ku angkat, tak ada suara apa pun. Aku tunggu hingga cukup lama, namun tetap tak ada suara. Hening. Saat akan ku tutup, terdengar satu suara lirih dari ujung telepon, “Mati…”
***
“Aaaarrrrrrggghhh………………!” aku berteriak sekuat tenaga, berharap semuanya akan berhenti begitu saja. Tapi aku salah. Teriakanku membuat orang orang disitu berlari menuju ruanganku. Pintu yang tak aku kunci dengan mudah dapat mereka terobos. Rasa takut mulai menjalariku. Bisa saja dia ada diantara orang orang yang berlarian menuju ruanganku itu. Tubuhku menggigil karena takut. Aku belum siap untuk mati. Belum siap untuk menghadapNya.
Bayangan masa lalu berkelebat di benak ku. Bayangan masa kecilku saat mengaji, bayangan alam kubur yang diceritakan pak ustad, bayangan dosa yang telah ku perbuat, bayangan keluarga,teman, tunangan, semua berkelebat. Aku tak ingin mati. AKU TAK BOLEH MATI!!!!
Aku kalut. Dengan tongkat yang aku ayun ayunkan tak tentu arah, aku berlari menerobos kerumunan orang-orang yang menerobos masuk ruanganku. Dapat kurasakan, sesekali tongkat yang kuayunkan mengenai kepala seseorang. Teriakan mereka, raungan kesakitan mereka, semua aku abaikan. Aku terus berlari menjauh. Tak ada yang bisa membunuhku. Tak akan ada.
Aku sampai di lantai bawah. Berhenti sejenak untuk menarik napas. Kulihat ujung tongkatku berllumuran darah. “Hahahahaha…” aku tertawa lepas melihatnya. Melihat darah yang menetes dari ujung tongkatku. Aku membayangkan dia telah terpukul tongkatku. Dia yang mengancamku dengan kematian, tapi dia yang akhirnya mati. “HAHAHAHAHA…” tawaku makin meledak membayangkannya.
Namun perlahan aku tersadar. Banyak pasang mata yang sedang memandangku. Dan perlahan mereka mulai mendekatiku. Dengan tangan ke depan seperti hendak menangkap kucing. Aku genggam erat kembali tongkatku. Dia, dia bisa saja berada di antara mereka. Kembali aku berlari diikuti teriakan dan ayunan tongkatku. Kini, lebih indah. Tak lagi tak tentu arah. Tapi tepat mengarah pada kepala mereka. Tepat pada ubun ubun mereka. Tak peduli mereka meringis, menangis, teriak, atau tak sadarkan diri. Bahkan mungkin mati, aku tak peduli. Aku tak ingin dia terus menghantuiku. Dia harus mati. Itu satu satunya cara agar aku bisa tetap hidup. Maka aku tak peduli, selama aku berlari, menyusuri gang menuju kke arah yang aku tak tahu, siapapun yang menghalangiku akan merasakan ayunan tongkatku. Lelaki,perempuan,anak kecil, dewas, maupun lansia. Siapapun.
Aku pun keluar gang dan tiba di luar gang. Masih berlari dengan tongkat di tangan. Dari jauh kulihat Hendri melambaikan tangannya memanggilku. Wajahnya penuh dengan senyum. Senyum kemenangan yang dia perlihatkan jika kita telah memenangkan pertandingan futsal. Senyum kemenangan. Untuk apa? Untuk futsal? Atau karena dia menemukanku dan siap membunuhku?
Aku berlari ke arahnya, tersenyum padanya, dan…. PLAK! Aku pukul kepalanya dengan sangat keras. Hendri terjatuh. Langsung aku duduki badannya agar ia tak bisa pergi. Kakinya meronta, tangannya memegang kepalanya yang berdarah. Orang orang mulai menjerit melihat apa yang aku lakukan. Dan beberapa detik kemudian, aku berhasil menusuk tepat di jantung Hendri. Hendri pun terkapar tak berdaya.
Semua terasa hening. Suara teriakan orang orang di jalan terasa hilang. Hanya ada aku dan kesendirianku. Hanya aku dan pikiranku. Sampai sejauh ini aku berhasil lari dari dia. Tak mungkin dia bisa membodohiku, apalagi membunuhku.
Semua keheningan hilang begitu saja ketika kurasakan ada tangan yang memegang pundakku. Aku tersentak. Mungkinkah dia di belakangku? Segera ku cabut tongkat yang berdiri tegak di dada Hendri, berbalik, dan aku tusukkan tepat pada leher orang yang ada di belakangku. Dan dihadapanku kini, tunanganku tersenyum dengan darah yang membanjiri tubuhnya, dan ambruk.

Categories: , Share

Leave a Reply